Filosofi Griya Jati Rasa

Makna Filosofi

Makna filosofi dari nama Griya Jati Rasa dijelaskan Ibu Farsijana Adeney-Risakotta, Ph.D selaku pendiri Yayasan. Indonesia adalah suatu keluarga di mana orang-orang dari berbagai latar belakang suku, agama, status sosial, gender tinggal bersama. Yogyakarta adalah propinsi yang sudah sangat beragam dihidupi oleh berbagai orang dari seluruh Indonesia datang untuk belajar dan kemudian menetap di sini. Perubahan sosial yang mendalam terjadi di Yogyakarta, menyebabkan dirinya sebagai Griya harus terus menerus menemukan kembali makna dan fungsinya. Kata Jati Rasa diambil dari nama rumah kuno, “Pondok Jati Rasa” yang dibangun oleh simbah buyut ibu Farsijana, yang didirikan di desa Taji, Prambanan pada tahun 1822. Rumah berbentuk limasan ini dipindahkan ke Alas Wegode, di Dusun Gabug, Desa Giri Cahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, di atas tebing menghadap ke lautan selatan, pada tanggal 26 Juli 2004. Ibu Farsijana menyebut rumah pusaka ini, Pondok Jati Rasa. 

Asal Usul Nama

Asal usul pemberian nama Jati Rasa diawali oleh pengamatan bu Farsijana yang memperhatikan pohon Jati sebenarnya bertumbuh dengan bantuan dari rayap. Rayap-rayap memakan bagian luar dari batang pohon yang hidup untuk membesarkan pohon tersebut dengan membiarkan bagian intinya berkembang menjadi matang dan kuat. Pengamatan ini memberikan pengertian kepada ibu Farsijana tentang makna kata jati diri yang diambil dari perilaku alam dalam mematangkan inti pohon jati. Manusiapun berkembang menemukan sejati dirinya, inti dirinya yang kuat berakar pada pemahaman sejarah diri, keluarga, agama, etnis, dan bangsa yang memutuskan untuk hidup bersama di alam persada Indonesia yang permai.

Penguatan sejati diri manusia dilakukan melalui penggunaan rasa. Kata “rasa” penting dalam kehidupan ibu Farsijana karena rumahnya di Sleman diberikan nama “Pondok Tali Rasa”. Kata “rasa” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang mendalam terkait dengan penggunaan lima indra manusia. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari merasa, mengalami, mecicipi, melihat, mencium, menyentuh yang menghadirkan pengalaman integral tentang kedirian sejati seorang manusia. Pemberdayaan “rasa” sebagai mental pemikiran manusia Indonesia perlu dilakukan secara berbudaya dan beradab sampai sejati diri sendiri mampu terhubungkan dengan sejati diri lainnya dalam semesta ini. Melatih rasa untuk berinteraksi dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal terutama dalam membangun kebiasaan bekerjasama sebagai seorang anak manusia di tengah keluarga, masyarakat dan bangsa.